“Kekerasan di Jawa Barat tidak bisa diselesaikan di level provinsi. Kita punya 27 kabupaten/kita yang punya karakteristik heterogen. Kami membagi dalam enam subkultur, ada sub urban plural, seperti Bandung Raya, Sumedang, Depok, Bogor dan Bekasi. Lalu ada klaster Priangan Barat, Sukabumi, Cianjur. Priangan Timur, Garut, Tasikmalaya, Pangandaran, klaster Ciayumajakuning dan sub urban Karawang, Purwakarta, Subang. Karakteristik beda, harus hati-hati dalam memetakan,” paparnya.
Demikian pula responden kelompok usia muda, yang menurutnya terdapat perbedaan karakteristik antara perkotaan dan desa. Sehingga dibutuhkan metode yang tentunya harus berbeda pula.
‘Warga usia muda di kota dan desa, ada karakteristik berbeda. Treatment berbeda. Sosial media asumsinya banyak diakses kelompok muda. Tapi fenomena (hanya) di perkotaan,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sedang mengenai menjelang tahun politik, Firman mengatakan tidak ada yang mendominasi secara berturut-turut di setiap kontestasi Pemilu. Ini disebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Hal ini diakuinya menjadi magnet tersendiri bagi parpol, sebab semua kontestan memiliki peluang yang sama, dalam meraup swing voter Jabar. Terlebih dengan jumlah penduduk hampir 50 juta jiwa, atau sekitar 17,5 persen pemilih untuk skala nasional.
“Party id rendah. Tidak ada kekuatan dominan. Jabar jadi rebutan kekuatan politik. Siapapun punya peluang. Kita punya pengalaman, beberapa tahun politik ada mobilisasi tentang isi yang mendorong intoleran meningkat. Pilgub 2018, isu sentimental keagamaan muncul.
Penulis : Ton
Editor : Maura Dzakiya
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya