Tujuan kita belajar adalah untuk menambah pengetahuan dan menjauh dari kebodohan. Meminta pertolongan atau “isti’ânah” merupakan bentuk deklarasi kemakhlukan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Bahwa kita adalah hamba yang tidak mungkin mampu bergerak, bernapas, berkedip, berjalan, berdiri, dan “ber-ber” lainnya tanpa izin-Nya.
Kita sangat lemah, hingga membutuhkan pertolongan-Nya, baik ketika memenuhi kebutuhan sehari-hari kita, maupun ketika berjuang agar tetap berada di jalan-Nya.
Kita tidak mungkin bisa melakukannya sendirian, dengan sok percaya diri bahwa kita mampu menjadi baik tanpa bantuan-Nya. Sekali kita merasa mampu, kita sudah sangat dekat dengan jurang kelalaian. Jangan sampai kita termasuk dalam orang yang dipanggil Sayyid Abdul Aziz al-Darani dengan sebutan, “yâ râqidan fî ghaflah” (wahai orang yang tidur dalam kelalaian), “yâ qâ’idan ‘ammâ umir” (wahai orang yang duduk [malas-malasan] dari [melakukan] sesuatu yang diperintahkan) (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 151).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika kita merasakan panggilan tersebut, artinya hati kita masih hidup dan terbuka untuk memperbaiki kesalahan dan kelalaian kita. Namun, jika kita tidak merasakan apa pun, artinya hati kita telah terkunci dan perlu dibuka dengan usaha keras, salah satunya dengan meminta pertolongan (isti’anah).
Semua orang pasti pernah lalai, dan pernah merasa malas untuk melakukan apa yang diperintahkan, sebaik apa pun orang tersebut. Karena itu, kita butuh memohon pertolongan, meski di hati kita, kita tidak merasakan ada yang salah sama sekali (tidak menyadari), sehingga perlahan-lahan kita menjadi lebih sadar akan kesalahan dan kelalaian yang menetap di hati kita. Karena isti’anah sendiri adalah pernyataan kehambaan seorang hamba.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya