BANDUNG – Dalam sejarah Islam, penggunaan dirham dan dinar sebagai alat tukar memiliki kedudukan penting. Pada masa Rasulullah SAW, kedua mata uang ini digunakan dalam berbagai transaksi ekonomi umat Islam. Hingga kini, konsep dirham dan dinar tetap menarik perhatian, khususnya dalam diskusi tentang sistem ekonomi syariah.
Dirham dan Dinar pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab menggunakan dinar (koin emas) dan dirham (koin perak) untuk jual beli, pembayaran zakat, mahar pernikahan, hingga transaksi bisnis. Menariknya, Rasulullah SAW tidak mencetak mata uang baru, melainkan menggunakan koin-koin yang sudah beredar dari Kekaisaran Romawi (dinar) dan Persia (dirham).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dinar terbuat dari emas murni, dengan berat sekitar 4,25 gram per koin, sementara dirham terbuat dari perak murni, dengan berat kurang lebih 2,97 gram. Standar ini kemudian diakui secara luas di dunia Islam.
Dalam hadis, Rasulullah SAW menyebutkan:
“Timbangan (kadar) emas adalah dinar dan timbangan (kadar) perak adalah dirham.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Penggunaan dinar dan dirham menunjukkan prinsip keadilan dalam transaksi, karena nilai intrinsik koin tersebut berasal dari logam mulia yang memiliki nilai riil, bukan sekadar angka nominal.
Prinsip Ekonomi Berbasis Dinar dan Dirham
Sistem dinar dan dirham berakar pada konsep keadilan, kejujuran, dan kestabilan ekonomi. Karena memiliki nilai intrinsik, dinar dan dirham tahan terhadap inflasi yang seringkali terjadi dalam sistem mata uang kertas.
Islam menekankan pentingnya penggunaan alat tukar yang adil dan sah, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.”
(QS. Al-An’am: 152)
Koin emas dan perak mendorong kestabilan nilai tukar dan melindungi masyarakat dari manipulasi moneter yang merugikan.
Relevansi Dinar dan Dirham di Masa Kini
Di era modern, penggunaan dinar dan dirham secara luas memang belum terwujud sebagai mata uang nasional. Namun, beberapa komunitas muslim dan institusi keuangan syariah telah mulai memperkenalkan kembali dinar dan dirham, khususnya dalam transaksi zakat, mahar, dan tabungan investasi berbasis emas dan perak.
Misalnya, untuk pembayaran zakat mal, sebagian ulama dan lembaga zakat menggunakan standar nisab berdasarkan harga 85 gram emas (dinar) atau 595 gram perak (dirham) untuk menentukan kewajiban zakat seseorang.
Selain itu, tren penggunaan emas dan perak sebagai aset investasi meningkat pesat dalam menghadapi ketidakstabilan ekonomi global. Beberapa negara seperti Malaysia bahkan pernah menginisiasi penggunaan Dinar Emas sebagai alternatif pembayaran internasional.
Tantangan dan Harapan
Meski nilai filosofi dinar dan dirham tetap kuat, penerapannya di era modern menghadapi tantangan besar, terutama karena sistem ekonomi global saat ini berbasis uang fiat (uang kertas) dan transaksi digital. Namun, kesadaran untuk kembali kepada instrumen keuangan berbasis nilai riil makin tumbuh, seiring dengan upaya memperkuat ekonomi syariah dan melindungi kekayaan umat dari ketidakpastian ekonomi.
Penulis : Adi
Editor : Shireni