Berbicara ekosistem, Taru yang juga merupakan salah satu pecinta musik dan kolektor rilisan fisik yang menghabiskan banyak waktunya untuk nongkrong di DU 68 tak menampik hal tersebut.
Ia mengaku, bersama DU 68 menyeleksi musisi-musisi baru untuk dibuatkan rilisan fisik. Biasanya, musisi-musisi tersebut dibuatkan rilisan fisik kaset.
“Kualitas audio rilisan fisik itu lebih bagus dibandingkan digital. Tidak ada batasan dalam analog. Ibaratnya kita memotret dengan kamera analog, mau dicetak sekian juta piksel pun, kualitasnya sama. Nah, di musik pun sama,” kata Taru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, aspek sentimentil dan ekonomis juga menjadikan banyak orang kembali mengoleksi rilisan fisik. Soal band yang dijaring untuk dibuatkan rilisan fisik, menurut Taru, akan ada kebanggaan bagi musisi atau band yang merilis karyanya dalam bentuk fisik.
“Dulu, ketika zaman kaset, musisi yang merilis album isinya katakanlah 10 lagu, itu mungkin mereka nyiapin demo sampai 100 lagu. Artinya, proses seleksinya lebih ketat. Kalau sekarang kan anda tinggal buat lagu di komputer, upload ke internet, nasibnya tinggal tunggu aja. Artinya, ada kebanggaan bagi mereka (musisi atau band) yang mempunyai rilisan fisik. Boleh dibilang, mereka setara dengan Eric Clapton,” ujar Taru sembari bercanda.
Ia juga mengajak para pecinta rilisan fisik untuk sama-sama mengarsipkan rilisan fisik sejak saat ini, serta mendengarkan banyak referensi musik.
“Jangan hanya terpaku di satu artis atau genre saja. Dengarkan berbagai musik. Dan perlu diketahui, anda bisa datang ke sini hanya untuk ngobrol, enggak harus membeli,” pesannya.
Penulis : Adi
Editor : Dhardiana
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya