مَنْ عَمِلَ طَاعَةً مِنَ الطَّاعَاتِ وَفَرِغَ مِنْهَا فَعَلَامَةُ قَبُوْلِهَا أَنْ يَصِلَهَا بِطَاعَةٍ أُخْرَى وَعَلَامَةُ رَدِّهَا أَنْ يَعْقِبَ تِلْكَ الطَاعَةَ بِمَعْصِيَةٍ مَا أَحْسَنَ اْلحَسَنَةَ بَعْدَ السَّيِّئَةِ تَمْحُوْهَا وَأَحْسَنُ مِنْهَا بَعْدَ الْحَسَنَةِ تَتْلُوْهَا.
Artinya, “Siapa yang melakukan suatu amal ibadah dan telah rampung melaksanakannya, maka tanda diterima amal tersebut adalah diiringi dengan amal ibadah yang lain. Sebaliknya, jika amal ibadah itu tidak diterima oleh Allah ta’âlâ, maka amal tersebut diiringi dengan kemaksiatan. Betapa baik amal ibadah yang dilakukan setelah perbuatan maksiat sehingga menghapus dosa maksiat. Lebih baik lagi jika amal ibadah tersebut diikuti ibadah berikutnya.” (Ibnu Rajab, Lahtâiful Ma’ârif, 1997: 262)
Jika ditarik dalam konteks ibadah selama bulan Ramadhan, maka penjelasan Ibnu Rajab di atas menegaskan bahwa ciri-ciri ibadah puasa kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah swt, baik ibadah wajib maupun sunnah, maka kita mampu menjaga konsistensinya setelah Ramadhan berlalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jangan sampai yang tadinya sering baca Al-Qur’an, setelah bulan puasa Al-Qur’annya ditutup dan baru dibuka lagi di Ramadhan tahun depan. Yang tadinya gemar bersedekah kepada saudara dan handai taulan, setelah Ramadhan sudah malas dilaksanakan. Maka, kalau begini bisa jadi Allah swt belum menerima ibadah puasa Ramadhan yang sudah kita rampungkan. Nau’udzubillâh.
Ketenangan Hati Selain itu, ciri-ciri ibadah selama bulan puasa seseorang diterima oleh Allah swt adalah ia akan merasakan dampak spiritual dalam dirinya, yaitu dalam wujud ketenangan batin dan kepuasan hati. Hal ini sebagaimana telah disinggung oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Ḫikam, مَنْ وَجَدَ ثَمْرَةَ عَمَلِهِ عَاجِلاً فَهُوَ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْدِ الْقَبُوْلِ Artinya, “Siapa yang memetik buah dari amalnya seketika di dunia, maka itu menunjukkan Allah menerima amal ibadahnya.”
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya