JAKARTA – Menyikapi pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ruzhanul Ulum yang mengatakan bahwa solusi untuk mencegah HIV-AIDS yang meningkat di Jawa Barat adalah dengan menikah dan polgami.
Ayu Oktariani, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Jaringan Nasional bagi perempuan yang Hidup dengan HIV dan terdampak HIV di Indonesia menyatakan bahwa pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ruzhanul Ulum ini sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kesalahan yang lebih fatal bagi masyarakat lebih luas dan perempuan secara khusus.
Pernikahan baik “monogami” ataupun “poligami” tidak bisa menyelesaikan persoalan HIV, apalagi dianggap sebagai solusi pencegahan HIV-AIDS. IPPI menganggap, Poligami dan
pernikahan di usia muda malah akan menjadi pintu gerbang pada kasus kekerasan pada perempuann.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berita Sebelumnya Tentang solusi HIV/AIDS oleh Wagub Jabar
Kita bisa melihatnya dalam Ringkasan Eksekutif, Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2022, bahwa kekerasan paling tinggi terjadi di ranah personal yaitu 335.399 kasus dimana di dalamnya ada kekerasan dalam rumah tangga. Dan dalam catatan pendokumentasian kekerasan IPPI di tahun 2021 menyebutkan bahwa, perempuan dengan HIV menjadi lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender serta sebaliknya perempuan yang mendapatkan kekerasan seksual menjadi rentan pada HIV dan infeksi menular seksual lainnya.
Apakah negara kemudian bisa memastikan bahwa setiap pasangan yang akan menikah muda dan berpoligami dapat terbebas dari Tindakan kekerasan yang juga membuka pintu gerbang baru pada penularan HIV-AIDS?
Selain itu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pernikahan baik “monogami” atau “poligami” akan mencegah HIV, jika setiap individu tidak dibekali oleh kesadaran untuk mencegah HIV pada dirinya terlebih dahulu.
Pemerintah harusnya memberikan penyadaran yang lebih cerdas tentang konteks pernikahan yang bukan hanya soal menaati perintah agama dan menjauhi perbuatan zinah. Makna pernikahan dalam banyak keyakinan dan agama justru kami Yakini lebih besar daripada itu, yakni tentang kesanggupan dua orang individu untuk berkomitmen saling menghargai dan bertanggung jawab pada kehidupan, saling melindungi dan menjaga pasangan dan meraih kehidupan yang sejahtera sebagai pasangan yang saling menghargai satu sama lain.
Bagi IPPI, solusi yang nyata dalam pencegahan penularan HIV-AIDS adalah dengan menggalakkan tersedianya pendidikan Kesehatan seksual reproduksi dan pencegahan kekerasan berbasis gender kepada seluruh masyarakat Indonesia dari mulai remajasekolah sampai kepada lingkaran sosial yang sudah ada di masyarakat seperti karang taruna, pertemuan PKK ataupun Posyandu.
Harusnya negara mendorong, semua anak dan remaja untuk menempuh pendidikan atau mendapatkan aktifitas serta hak nya sebagai pribadi dan individu utk berkembang dan maju, bukannya malah “didorong” untuk menikah muda hanya karena dianggap sudah kebelet.
Kementerian Kesehatan juga telah dengan jelas memberikan cara dan upaya yang nyata untuk mencegah HIV-AIDS dengan Abstinece, atau tidak melakukan Hubungan Seks Sama Sekali, Kemudian Be Faithfull atau setia dengan pasangan, lalu Use Condoms, jika dihadapkan pada
resiko tetap menggunakan pengaman, Tidak menyalahgunakan Drugs, dan Edukasi pada
pencegahan HIV-AIDS, termasuk Pendidikan Kespro dan pencegahan kekerasan berbasis gender.
Sementara masih banyak orang yang kehilangan kesempatan untuk bersekolah, negara diharapkan bisa memenuhi UU 1945 pasal 31 ayat 1 agar seluruh warga negara bisa memperoleh pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan Kesehatan seksual reproduksi sebagai alat pencegahan HIV-AIDS.
Jika informasi tentang Kesehatan seksual reproduksi dan pencegahan kekerasan berbasis gender diberikan dengan tepat seharusnya malah bisa membantu remaja dan individu usia produktif untuk memahami tentang tubuhnya serta bisa melindungi diri dari kekerasan serta pelecehan.
Selain itu, sejak dini mereka akan mendapatkan pemahaman tentang resiko berhubungan seksual di usia yg dini, tidak aman bahkan tanpa kesadaran akan beresiko pada HIV dan Infeksi Menular Seksual lainnya, termasuk adanya kekerasan berbasis gender pada perempuan karena perempuan paling sering tidak punya posisi tawar dan dalam kondisi yang sulit sebagai korban.
Pada konteks pernikahan, yang paling paling penting didorong pada seluruh pasangan yang hendak menikah bukan kesegeraan atau dorongan berpoligami.
Namun adanya konseling sebelum pernikahan tentang komunikasi yang setara antara pasangan, tentang Pendidikan Kesehatan seksual reproduksi dan mendorong mereka melakukan pemeriksaan kesehatan dengan konseling yg tepat. Termasuk konseling pencegahan HIV jika memamg ternyata salah satu pasangannya ditemukan positif HIV. Karena tidak menutup kemungkinan orang yang hidup dengan HIV bisa menikah, berkeluarga serta merencanakan kehamilan yang sehat tanpa menularkan pasangan anak anak yang akan dilahirkannya.
Implementasi Undang – undang No 12 Th 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga sebaiknya dapat menjadi perlindungan kepada perempuan yang kerap menjadi korban dalam pernikahan “Poligami” dan Pernikahan Usia Muda.