Sedangkan menurut Imam Auza’i hal tersebut dapat membatalkan puasanya, pendapat beliau ini mengqiyaskan pendapat mazhab Imam Ahmad tentang tidak sahnya shalat di tempat ghasab.
Dari penjelasan di atas tidak bisa dipahami bahwa kewajiban menjaga lisan dari segala yang haram seperti berbohong, mengunjing dan mencaci maki hanya saat seseorang sedang berpuasa saja. Berikut penjelasan lengkapnya oleh As-Sayyid Al-Bakri Syatha dalam KitabI’anatut Thalibin:
(قوله: ومما يتأكد للصائم الخ) أي من حيث الصوم، فلا ينافي ذلك وجوب الكف عن ذلك من حيثية أخرى، فإذا كف لسانه عن ذلك يثاب عليه ثوابين: واجبا – من حيث وجوب صون اللسان عن المحرمات – ومندوبا – من حيث الصوم – وإذا لم يكف لسانه عن ذلك – بأن اغتاب مثلا – حصل الإثم المرتب على الغيبة في نفسها، للوعيد الشديد عليها، وحصل بمخالفته أمر الندب بتنزيه الصوم عن ذلك إحباط ثواب الصوم زيادة على ذلك الإثم
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Artinya, “Perkataan Mushanif: “Dan sesuatu yang ditekankan bagi orang yang berpuasa,” yakni dari segi puasa. Hal itu tidak menafikan kewajiban untuk menjaga lisan dari sisi yang lain. Maka jika seseorang menjaga lisannya dari sesuatu yang haram, ia mendapat dua pahala. Pertama, pahala wajib dari sisi kewajiban menjaga lisan dari hal yang diharamkan; dan kedua, adalah pahala sunah dari segi puasanya. Sebaliknya jika orang tidak menjaga lisannya dari yang hal diharamkan, dengan semisal mengumpat, maka ia mendapatkan dosa yang berlipat, yakni dosa ghibah itu sendiri karena adanya ancaman keras atas perbuatan itu; dan hilangnya pahala puasa yang melebihi dari dosanya ghibah karena menyelisihi kesunahan untuk membersihkan puasa dari ucapan-ucapan yang diharamkan.” (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Malibari dan Abu Bakar bin Ustman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati, Fathul Mu’in dan Hasyiyah I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 282). Wallahu a’lam bisshawab.