(Edisi Ramadhan) — Sebulan dalam satu tahun kalender hijriyah, kita mendapat kesempatan untuk menziarahi diri, menepi sejenak dari keriuhan, menata kembali alur kehidupan, atau mendekonstruksi spiritualitas melalui laku puasa. Surat Al Baqarah ayat 183 menjadi dasar dan ruh dalam menjalankan ibadah tersebut.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ” Ayat ini merupakan dasar naqli kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ayat yang kerap dibaca mubaligh di atas mimbar kultum atau khutbah Jumat sepanjang Ramadhan itu, juga menjadi landasan pengharapan seorang hamba agar menjadi pribadi yang bertakwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lalu, siapa “si takwa” itu?. Dalam pandangan awam, kerapkali takwa diimajinasikan sebagai sebuah predikat atau gelar laiknya orang mendapatkan ijazah. Saya berpendapat bahwa takwa merupakan sebuah sikap mental yang akan mewujud menjadi laku spiritual dalam kehidupan pribadi kita sehari-hari dan berpengaruh positif bagi masyarakat luas.
Tafsir yang lebih umum dan klasik kita dengar dalam khutbah Jumat, takwa berarti takut kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pemaknaan ini ada kesan bahwa ruang lingkup penghayatan takwa terbatas pada pengamalan syariat ibadah. Ia merupakan ejawantah dari rasa takut. Sehingga yang muncul adalah kesalehan individu, ritus-ritus ibadah sebagai wujudnya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya